kota berbilang kaum
Multi Etnik
Secara umum mungkin banyak masyarakat yang belum mengetahui Sibolga,mengenai Siapa sesungguhnya yang mendiami kota Sibolga.
Penduduk Sibolga khususnya dan kawasan Tapanuli Tengah umumnya terdiri dari berbagai etnik yang sejak lama mendiami tempat ini, mereka adalah :
-Batak
-china
- Melayu
– Minang Kabau
- Bugis
- Aceh
- Nias
Sejarah
terbentuknya kota Sibolga
Kota Sibolga adalah salah satu Kota di Provinsi Sumatra Utara. Wilayahnya seluas 3.356,60 ha yang terdiri dari 1.126,9 ha daratan Sumatera, 238,32 ha daratan kepulauan, dan 2.171,6 ha lautan. Pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Secara geografis kawasan ini terletak di antara 1 42' - 1 46' LU dan 98 44' - 98 48 BT dengan batas-batas wilayah: Timur, Selatan, Utara pada Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Barat dengan Teluk Tapian Nauli. Letak kota membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan menghadap Teluk Tapian Nauli. Sementara sungao-sungai yang dimiliki, yakni Aek Doras, Sihopo-hopo, Aek Muara Baiyon dan Aek Horsik
Sementara wilayah administrasi pemerintahan terdiri dari tiga kecamatan dan 16 kelurahan. Ketiga kecamatan itu yakni Kecamatan Sibolga Utara dengan empat kelurahan, Kecamatan Sibolga Kota dengan empat kelurahan, dan Kecamatan Sibolga Selatan dengan delapan kelurahan.
Berikut sakilas sejarah terbentuknya kota SIBOLGA, yang saya kutip dari berbagai sumber:
Penetapan tahun 1700 itu diperkuat analisis tingkat keturunan yakni bahwa Marga Hutagalung yang telah berdiam di Sibolga sudah mencapai sembilan keturunan. Kalau jarak kelahiran antara seorang ayah dengan anak pertama adalah 33 tahun -angka ini adalah rata-rata usia nikah menurut kebiasaan orang Batak—lalu dikalikan jumlah turunan yang sudah sembilan itu, itu berarti sama dengan 297 tahun. Maka kalau titik tolak perhitungan adalah tahun 1998, yaitu waktu diselenggarakannya Seminar Sehari Penetapan Hari Jadi Sibolga pada 12 Oktober 1998, itu berarti ditemukan angka 1701 tahun.
Tentang nama atau sebutan Sibolga, dicerita-kan bahwa pada awal-nya Ompu Datu Hurinjom yang membuka perkampungan Simaninggir, mempu-nyai postur tubuh tinggi besar, di samping memiliki tenaga dalam yang kuat. Adalah tabu bagi orang Batak menyebut nama seseorang secara langsung apalagi orang tersebut lebih tua dan dihormati, maka untuk menyebut nama kampung yang dibuka Ompu Datu Hurinjom dipakai sebutan "Sibalgai", yang artinya kampung atau huta untuk orang yang tinggi besar.
Asal kata Sibolga dengan pengertian tersebut lebih dapat diterima daripada untuk istilah "Bolga-Bolga", yaitu nama sejenis ikan yang hidup di pantai berawa-rawa; atau istilah "Balga Nai" yang berarti besar untuk menunjukkan ke arah luasnya lautan. Orang Batak biasanya menggunakan kata "bidang" untuk menggambarkan sesuatu yang luas, bukan kata balga yang berarti besar.
Tapi apa pun kisah awal kelahiran nama dan Kerajaan Sibolga, kota di Teluk Tapian Nauli ini telah menjalankan peran sejarah yang sangat berarti. Di masa lalu Sibolga berjaya sebagai pelabuhan dan gudang niaga untuk barang-barang hasil pertanian dan perkebunan seperti karet, cengkeh, kemenyan dan rotan. Inggris bahkan pernah menjadikan Sibolga sebagai pelabuhan gudang niaga lada terbesar di Teluk Tapian Nauli.
Lebih dari itu, berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 7 Desember 1842 tempat kedudukan Residen Tapanuli dipindahkan dari Air Bangis ke Sibolga, dan sejak itulah Sibolga resmi menjadi Ibukota Keresidenan. Meski statusnya sebagai Ibukota Keresidenan sempat dipindahkan ke Padang Sidempuan antara tahun 1885 - 1906, namun predikat itu akhirnya kembali lagi ke Sibolga berdasarkan Staadblad yang dikeluarkan pada 1906 itu.
Dalam perjalanannya, pada 1850, di masa Mohd Syarif menjadi Datuk Poncan, bersama-sama dengan Residen Kompeni Belanda bernama Conprus, mereka pindah dari Pulau Poncan ke Pasar Sibolga. Pada tahun ini pula rawa-rawa besar itu ditimbun untuk menyusunnya menjadi sebuah negeri pula.
Sibolga jolong basusuk
Banda digali urang rantau
Jangan manyasa munak barisuk
Kami sapeto dagang sansai
Maksudnya yakni bahwa pada mulanya Kota Sibolga ini dibangun dengan menggali parit-parit dan bendar-bendar untuk mengeringkan rawa-rawa besar itu, dengan menggerakkan para narapidana (rantai) serta ditambah dengan tenaga-tenaga rodi, ditim-bunlah sebagian rawa-rawa itu dan berdirilah negeri baru Pasar Sibolga.
Di masa Sibolga dibangun menjadi kota, istana raja yang berada di tepi Sungai Ack Doras dan pemukiman di sekelilingnya dipindahkan ke kampung baru, Sibolga Ilir. Di atas komplek tersebut dibangun pendopo Residen dan perkantoran Pemerintah Belanda. Walaupun pada tahun 1871 Belanda menghapuskan sistem pemerintahan raja-raja dan diganti dengan Kepala Kuria, namun Anak Negeri menganggapnya tetap sebagai Raja dan sebagai pemangku adat.
Sementara Datuk Poncan di Sibolga diberi jabatan sebagai Datuk Pasar dan tugasnya memungut pajak anak negeri yang tinggal di Kota Sibolga terhadap warga Cina perantauan, Di dalam melaksanakan tugasnya, Datuk Pasar dibantu oleh Panghulu Batak, Pangulu Malayu, Pangulu Pasisir, Pangulu Nias, Pangulu Mandailing dan Pangulu Derek.
Pada 1916 Datuk Stelsel dihapuskan serta diganti dengan Demang Stelsel, mengepalai satu-satu distrik menurut pembagian yang diadakan, dalam mana Pasar Sibolga masuk Distrik Sibolga, sebagaimana beberapa resort kekuriaan. Untuk memudahkan kontrol berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi tujuh Afdeling yaitu Afdeling Singkil, Sibolga, Nias, Barus, Natal, Angkola dan Mandailing. Sedangkan Afdeling Sibolga terdiri dari beberapa distrik yakni Distrik Sibolga, Distrik Kolang, Tapian Nauli, Sarudik, Badari, dan Distri Sai Ni Huta.
Pada masa Pemerintahan Militer Jepang, Kota Sibolga dipimpin oleh seorang Sityotyo (baca: Sicoco) di samping jabatannya selaku Bunshutyo (baca: Bunsyoco), tapi dalam kenyataanya adalah Gunyo yang memegang pimpinan kota sebagai kelanjutan dari Kepala Distrik yang masih dijabat oleh bekas demang, ZA Sutan Kumala Pontas.
Pada masa pendudukan Jepang, Mohammad Sahib gelar Sutan Manukkar ditunjuk sebagai Kepala Kuria dengan bawahan Mela, Bonan Dolok, Sibolga Julu, Sibolga Ilir, Huta Tonga-tonga, Huta Barangan dan Sarudi. Beliau inilah yang menjadi Kepala Kuria yang terakhir di Sibolga karena setelah zaman kemerdekaan, sekitar tahun 1945 istilah Kepala Kuria praktis sudah tidak ada lagi.
Mengenai Sejarah Kuno Sibolga
Tidak dapat diketahui secara pasti sejak kapan bumi Teluk Tapian Nauli mulai dihuni orang. Namun berdasarkan sejumlah catatan sejarah, diperkirakan sejak tahun 1500 sudah terjadi hubungan dagang antara para penghuni Teluk Tapian Nauli dengan dunia luar yang paling jauh yakni negeri orang-orang Gujarat dan pendatang dari negeri asing lain seperti Mesir, Siam, Tiongkok. Para golongan terkemuka Tapian Nauli juga sudah dikenal di Mesopotamia, paling tidak melalui sejarah lisan yang dibawa saudagar Arab.
Tercatat pula bahwa pada tahun 1500 itu pelaut Portugis sudah hilir mudik di lautan dalam rangka mencari dan mengumpulkan rempah-rempah untuk dibawa ke Eropa. Uang Portugis yang beredar di kalangan masyarakat yang berdiam di Teluk Tapian Nauli saat itu merupakan salah satu bukti. Ketika itu keberadaan Teluk Tapian Nauli sangat penting. Selain sebagai pangkalan pengambilan garam, dusun ini terkenal juga sebagai pangkalan persinggahan perahu-perahu mancanegara guna mengambil air untuk keperluan pelayaran jauh.
Peranan Teluk Tapian Nauli sebagai pangkalan persinggahan dan pelabuhan dagang semakin dikukuhkan ketika Belanda dan Inggris memasuki wilayah itu di kemudian hari. Kapal Belanda di bawah pimpinan Gerard De Roij datang kepantai Barat Sumatera—Teluk Tapian Nauli—pada 1601. Sedangkan Inggris memasuki wilayah ini pada 1755.
Kehadiran dan gerak langkah Belanda dan Inggris di Teluk Tapian Nauli bisa dilihat dari beberapa kronologi peristiwa berikut ini:
1604 : Perjanjian antara Aceh dengan Belanda, yaitu antara Sultan Iskandar dengan Oliver.
1632 : Kapal Belanda mulai berhadapan dengan Inggris di Pantai Barat Sumatera dalam rangka kepentingan dagang.
1667 : Belanda mendirikan benteng (loji) di Padang.
1668 : Belanda mulai dengan politik adu domba, menghasut Tiku dan Pariaman lepas dari Aceh. Barus pro Pagaruyung diusir dari berbagai tempat.
1669 : Setelah berkuasa di Sumatera Barat, Belanda mulai mengincar pesisir Tapanuli dan mendirikan loji di Barus.
1670 : Karena keserakahan Belanda (VOC) dengan praktek dagangnya yang monopolistis, pemberontakan di Barus terhadap Belanda tidak dapat dielakkan dan terus meningkat. Raja Barus dibantu oleh adiknya Lela Wangsa berhasil mengusir Belanda dan menghancurkan loji Belanda.
1678 : Belanda dapat membalas, namun pada ketika itu perang sengit antara Raja Barus dengan Belanda terus berkobar. Raja Barus melakukan taktik gerilya. Putera raja di Hulu berhasil membuhuh dokter Belanda dan seorang serdadu Belanda. Namun Belanda berhasil menangkap Raja I^ela Wangsa dan membuangnya ke Afrika Selatan.
1733 : Belanda semakin merajalela dengan berhasilnya menangkap Raja Barus. Seterusnya bukan hanya Barus saja yang diserang, tapi Belanda juga menyerang Sorkam. Kolang dan Sibolga.
1734 : Oleh karena Belanda telah melakukan penyerangan terhadap Raja-Raja yang ada di Teluk Tapian Nauli, maka Raja-Raja yang ada di Teluk Tapian Nauli mengkonsolidasikan diri, maka lahun ini terjadilah peperangan secara besar-besaran terhadap Belanda. Serangan datang dari Sibolga, Kolang, Sorkam dan Barus dipelopori anak Yang Dipertuan Agung Pagaruyung.
1735 : Belanda terkejut dan kewalahan menghadapi peperangan ini. Belanda melakukan penelitian, dan ternyata diketahui bahwa semangat patriotisme yang dikobarkan dari Raja Sibolga itulah sumber kekuatan. Belanda ingin melampiaskan rasa penasarannya kepada Raja Sibolga, namun tidak berhasil, Antara 1755-1815 pesisir Pantai Barat Sumatera Utara, Teluk Tapian Nauli, berada di bawah pengaruh Inggris. Pada 1755 Inggris memasuki Tapian Nauli dan membuat benteng di Bukit Pulau Poncan Ketek (Kecil). Mereka mulai menguasai loji-loji Belanda dan markas Aceh yang berada di pesisir Barat Tapanuli.
1758 : Pasukan Inggris mulai mengusir loji-loji Belanda dan juga markas Aceh dari pesisir barat Tapanuli. Silih berganti usir-mengusir antara Inggris dengan Belanda.
1761 : Perancis meninggalkan Poncan. Kemudian Inggris datang bekerjasama dengan penduduk Tapian Nauli dan Sibolga.
1770 : Karena suasana perdagangan mulai tenang, maka Inggris mendatangkan budak dari Afrika dan India untuk mengerjakan urusan dagang dan perkebunan Inggris. Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga merasa keberatan atas tindak tanduk Inggris ini.
1771 : Stains East Indian Company Inggris di Tapanuli dinaikkan menjadi "Residency Tappanooly".
1775 : Karena dagang Inggris mulai menurun karena tidak mendapat simpati dari Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga, maka Belanda mengambil kesempatan mengadakan perjanjian dagang dengan Kuria Tapian Nauli dan Raja Sibolga.
1780 : Puncak perselisihan antara Belanda dengan Inggris adalah persoalan monopoli garam. Kesempatan ini dipergunakan oleh Aceh untuk menyerang Inggris di Teluk Tapian Nauli. Aceh untuk sementara dapat menduduki Teluk Tapian Nauli, akan tetapi Inggris meminta bantuan dari Natal dan Inggris kembali menduduki Tapian Nauli (Poncan Ketek).
1786 : Aceh kembali menyerang Inggris di Tapian Nauli. Serangan ini tidak berhasil karena Inggris meminta bantuan ke Natal.
1801 : Jhon Prince ditetapkan menjadi Residen Tapanuli berkedudukan di Poncan Ketek. Sejak saat itu Poncan Ketek mulai ramai didatangi oleh orang Cina, India, dan lain-lain.
1815 : Residen Jhon Prince mengadakan kontrak perjanjian dengan Raja-Raja sekitar Teluk Tapian Nauli, termasuk Raja Sibolga. Perjanjian ini disebut "Perjanjian Poncan" atau "Perjanjian Batigo Badusanak".
1825 : Inggris menyerahkan Poncan kepada Belanda, sebagai realisasi Traktat London 17-3-1824.
1850 : Belanda mulai menata pemukiman di Sibolga dengan menimbun rawa-rawa dan membuat parit-parit.
OBJEK WISATA
SEJARAH
Teluk Tapian Nauli Dalam Peran Sejarah
Secara pasti tidak dapat diketahui sejak kapan bumi Teluk Tapian Nauli (TTL) di huni oleh manusia. Namun berdasarakan sejarah, diprakirakan sejak tahun 1500 sudah terjadi hubungan dagang antara para penghuni TTL dengan dunia luar yang paling jauh yakni negeri orang SUJARAT dan pendatang dari negeri asing seperti MESIR, SIAM, TIONGKOK dan sebagainya.
Para golongan terkemuka TTL juga telah dikenal di MESOPOTAMIA, paling tidak dari sejarah lisan yang
di sampaikan oleh saudagar ARAB.
Tercatat pula bahwa pada tahun 1500 tersebut, pelaut PORTUGIS telah hilir mudik untuk membawa
hasil bumi TTL ke Eropah. Di kala itu, mata uang PORTUGIS sangat memegang peranan penting dalam proses perdagangan di TTL, selain mengenal mata uang asing masyarakat TTL telah memulai system perdagangan modern.
Peranan TTL Sebagai Pangkalan Persinggahan dan Pelabuhan dagang semakin dikukuhkan ketika BELANDA dan INGGRIS memasuki wilayah tersebut. Kapal BELANDA di bawah pimpinan GERARD DE ROIJ Datang ke Pantai Barat Sumatera – Teluk Tapian Nauli pada tahun 1601 sedangkan INGGGRIS memasuki wilayah tersebut pada tahun 1755.
Perluasan Kota di Kawasan Parombunan
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Sibolga kota memang memerlukan ekspansi lahan untuk dapat mengimbangi perkembangan kota ini sejak lama, bahkan untuk perumahan pun sudah sejak belasan tahun masyarakat mendirikan rumah di tebing-tebing yang curam di sekitar Sibolga, barang kali secara jangka panjang , perencana kota menganggap bahwa lokasi pengembangan dan perluasan kota di arahkan ke sekitar dan melalui Parombunan.
Selain itu terdapat pula jalan melingkar ke Sibolga julu arah utara dan jalan melingkar ke arah selatan hingga Tano Ponggol, bersamaan dengan itu pula di kawasan prombunan terdapat dua sekolah serta peruntukan gedung olah raga yang dibanggakan oleh Kota Sibolga. Bila demikian halnya , bahwa Parombunan dilihat strategis sebagai pengembangan wilayah kota, karena itu perlu dilakukan perintisan dan ajakan terhadap masyarakat agar jalan keliling arah utara maupun arah selatan bisa merupakan alternative bagi pelintas dari utara ke Kota Sibolga, maupun dari arah selatan langsung ke utara.
Bila demikian halnya barang kali sosialisasinya yang perlu digencarkan, sosialisasinya yang perlu diberi perhatian. Saya kira masyarakat Sibolga akan sangat setuju bila perluasan Kota Sibolga dikomunikasikan secara jelas , namun akan menyisakan pekerjaan yang lebih rinci mengenai pemanfaatan tata ruang di sepanjang lintasan tersebut, serta persyaratan keamanan bagi mereka yang membangun perumahan pada lokasi kemiringan yang terjal. Masalah berikutnya barangkali adalah bagaimana menyalurkan infrastruktur seperti air minum /PAM, telepon, gas, listrik serta angkutan umum lain ke daerah tersebut sehingga menjadikannya semakin ramai untuk didiami oleh penduduk Kota Sibolga.
Demikian pula halnya dengan penataan lingkungan, misalnya daerah mana yang dimanfaatkan oleh pemda untuk fasilitas perkantoran, perumahan, dagang, pasar dan industri tentu memerlukan pananganan lebih lanjut. ***
sibolga - tapteng
Kota Sibolga adalah salah satu Kota di Provinsi Sumatra Utara. Wilayahnya seluas 3.356,60 ha yang terdiri dari 1.126,9 ha daratan Sumatera, 238,32 ha daratan kepulauan, dan 2.171,6 ha lautan. Pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan Kota Sibolga adalah Pulau Poncan Gadang, Pulau Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan Pulau Panjang. Secara geografis kawasan ini terletak di antara 1 42′ - 1 46′ LU dan 98 44′ - 98 48 BT dengan batas-batas wilayah: Timur, Selatan, Utara pada Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Barat dengan Teluk Tapian Nauli. Letak kota membujur sepanjang pantai dari Utara ke Selatan menghadap Teluk Tapian Nauli. Sementara sungao-sungai yang dimiliki, yakni Aek Doras, Sihopo-hopo, Aek Muara Baiyon dan Aek Horsik.
Topografi
Kota Sibolga dipengaruhi oleh letaknya yaitu bcrada pada daratan pantai, lereng, dan pegunungan. Terletak pada ketinggian di atas permukaan laut berkisar antara 0 - 150 meter, kemiringan (lereng) lahan bervariasi antara 0-2 persen sampai lebih dari 40 persen dengan rincian; kemiringan 0-2 persen mencapai kawasan seluas 3,12 kilometer persegi atau 29,10 persen meliputi daratan Sumatera seluas 2,17 kilometer persegi dan kepulauan 0,95 kilometer persegi; kemiringan 2-15 persen mencapai lahan seluas 0,91 kilometer persegi atau 8,49 persen yang meliputi daratan Sumatera seluas 0,73 kilometer persegi dan kepulauan seluas 0,18 kilometer persegi; kemiringan 15-40 persen meliputi lahan seluas 0,31 kilometer persegi atau 2,89 persen terdiri dari 0,10 kilometer persegi wilayah daratan Sumatera dan kepulauan 0,21 kilometer persegi; sementara kemiringan lebih dari 40 persen meliputi lahan seluas 6,31 kilometer persegi atau 59,51 persen terdiri dari lahan di daratan Sumatera seluas 5,90 kilometer persegi dan kepulauan seluas 0,53 kilometer persegi.
Berdasarkan kemiringan lahan tersebut di atas, maka yang paling dominan adalah kemiringan lebih dari 40 persen. Karena hanya berada beberapa meter di atas permukaan laut, iklim Kota Sibolga termasuk cukup panas dengan suhu maksimum mencapai 32 C dan minimum 21,6 C. Sementara curah hujan di Sibolga cenderung tidak teratur di sepanjang tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November dengan jumlah 798 mm, sedang hujan terbanyak terjadi pada Desember yakni 26 hari.
Pelabuhan laut kota Sibolga cukup ramai disinggahi kapal kapal yang akan mnuju pulau Nias.
Demografi
Penduduk Kota Sibolga berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik Kota Sibolga Tahun 2000 adalah 87.265 jiwa. Dengan wilayah seluas 3.356,60 ha di daratan Sumatera dan urban growth seluas 644,53 ha berarti kepadatan penduduk pada wilayah pemukiman adalah 13.359 jiwa per km persegi. Sementara pertumbuhan penduduk setiap tahunnya sekitar 1,41 persen.
Potensi utama perekonomian bersumber dari perikanan, pariwisata, jasa, perdagangan, dan industri maritim. Hasil utama perikanan, antara lain, kerapu, tuna, kakap, kembung, bambangan, layang, sardines, lencam dan teri.
Saat ini dipimpin Walikota Sahat Pinorshinta Panggabean, sedangkan Wakil Walikota Afifi Lubis.
Tapanuli Tengah
Tapanuli Tengah adalah sebuah kabupaten di Sumatera Utara dengan luas wilayah 2.188 km² dan populasi 297.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Pandan. Percepatan pembangunan dilaksanakan dengan konsep pembangunan TAPANULI GROWTH yaitu sinergi kabupaten / kota lingkup Kawasan Barat Sumatera Utara, Aceh Singkil dan Simeulue (Provinsi NAD) untuk menciptakan pola pertumbuhan kawasan yang kompetitif dengan Kawasan Industri Terpadu Labuan Angin Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai pusat koleksi (hub) komoditas unggulan daerah.
Masyarakat Dan Kebudayaan
Dunia Kelautan mewarnai corak kehidupan masyarakat & kebudayaan di Teluk Tapian Nauli.
Dari tata cara berpakaian, ekonomi dan mata pencaharian yang di geluti sehari – hari, sistem teknologi, sistem ilmu pengetahuan, ilmu sosial dan organisasi sosial serta bahasa yang dipergunakan sangat jelas menggambarkan keterikatan mereka dengan dunia laut.
Keindahan pulaU, riak gelombang, kerap menjadi sumber inspirasi mereka dalam berkesenian atau melakukan upacara perkawinan, berpantun atau bertalibun lebih sering menggambarkan bagaimana kecintaan mereka terhadap dunia kebaharian itu.
sekian dan terimah kasih ........
keyenn euy yg nynyi di blog ni :D ;P
BalasHapus